Tadi pagi saya mencoba menerapkan prinsip baru dalam berburu hama tupai. Prinsipnya, lebih baik kehilangan satu peluru daripada kehilangan jejak target yang diburu.
Bagi saya yang masih baru menggilai hobby air rifle hunting, prinsip tembak di tempat sangat penting untuk mengurangi perasaan ragu yang mengganggu stabilitas senapan.
Perasaan ragu itu muncul karena prinsip berburu yang salah, bahwa killing tupai itu berada di area kepala dan jangan tekan triget sebelum yakin kita telah dapat membidik target pada killing point tersebut.
Nah, ketika killing point yang diharapkan tertutup daun atau ranting, kitapun menjadi ragu untuk menekan triger. tekan tidak, tekan, tidak, begitu seteruanya.
Masalahnya hama tupai terkenal sebagai juara sprinter kelas dunia yang jarang berlama-lama di satu tempat. Nah, akibat terlalu lama menunggu nongolnya killing point yang diharapkan, targetpun sudah keburu lari. Kalau sudah lari, jangan harap kita yang sudah tua ini mampu mengejarnya. Kalaupun mampu kita kejar, nafaspun sudah keburu ngos-ngosan sehingga kalaupun target dapat ditemukan, namun kita yang sedang ngos-ngisan pun akan sulit membidik dengan stabil. Walhasil tembakan hasil kejar-kejaran itu seringkali meleset.
Hal itu sering saya alami. oleh karena itu tadi pagi saya menerapkan teknik tembak ditempat sebagai implementasi dari prinsip itu. Wuih kayak perang aja ngebahasnya, hehee.
Teknik tembaj ditempat asalah dengan cara mempercepat shoot saat tubuh target sudah dalam area crosshair. Begitu terlihat, bidik dengan teleskop kita dan saat tubuh sudah berada dalam areal crosshair, segera tekan triger kita. pesss!
Nah dengan cara demikian, kitavakan lebih cepat dibandingkan buruan. Masalahnya, jika peluru jatuh di areal perut lalu tembus, biasanya hama tupai masih bisa berlari. Akan tetapi juga peluru jatuh di areal kaki depan, kepala atau tulang punggung, dijamin hama tupai akan tumbang. Seeettt, bub! Lalu jatuh di tanah.
Meskipun ada kelemahan dengan teknik tembak ditempat itu, namun itu akan lebih baik dibanding kehilangan hewan buruan.
Prinsip dan teknik itu saya terapkan tadi pagi. Hasilnya jauh lebih baik. Dengan angin yang kurang bersahabat, paling banter biasanya saya hanya mampu shoot 2 ekor hama tupai. Namun tadi pagi saya berhasil shoot 6 ekor. 4 berhasil dibawa pulang, 1 ekor jatuh tapi hilang di semak, sedangkan satu ekor lagi kena, tak tau apanya, lalu lompat, jatuh ke tanah dan pergi entah kemana.
Sedangkan, Pak Nasir kolega berburu saya yang biasa bisa shoot sama dengan saya, antara 1-2 ekor, pagi tadi malah tak mendapatkan satu ekorpun. Memang angin bertiup sangat kencang tadi pagi. Dan menurut Pak Nasir senapannya juga ada masalah dalam settingan teleskop. Terlepas dari persoalan angin yang kencang dan akurasi senapan, rekan saya yang telah menginjak usia 50-an ini memang memiliki style menembak yang sangat cermat. Ia tak mau menekan triger sembarangan. Ia selalu menyasar kepala target buruan. Ia rela menunggu, jika ia tak yakin telah membidik dengan baik kepala target buruan. Masalahnya, saat kita baru memilih titik killing, hama tupai sudah keburu lari. Bagi tipe sniper seperti Pak Nasir, jumlah mungkin tak terlalu penting. Yang terpenting adalah ketepatan. Walaupun selalu saja ketika kami selesai berburu, yang ditanya oleh rekan berburu kita adalah "dapat berapa", bukan "kena apanya". So, silahkan pilih, mau jadi sniper atau hunter. Kedua-duanya sama-sama mengasyikan dan sama-sama bermanfaat bagi para petani.
Muantabs
BalasHapus